Jokowimenyampaikan pentingnya reformasi total di sepakbola di Indonesia. Presiden Joko Widodo menerima 62 orang perwakilan klub-klub bola dan Asosiasi Provinsi PSSI di Istana Negara. Jokowi menyampaikan pentingnya reformasi total di sepakbola di Indonesia. MENU. detikcom Perkembangan Masyarakat Indonesia Pada Masa Reformasi - Pada kesempatan kali ini, admin kembali untuk mengingatkan buat anda sekalian, agar membaca postingan sebelumnya mengenai Perkembangan Masyarakat Indonesia Pada Masa Orde Baru. Dan untuk lebih lengkapnya, langsung saja anda menyimak penjelasan di bawah ini. A. Kondisi Ekonomi dan Politik Sebelum Reformasi Reformasi merupakan perubahan yang radikal dan menyeluruh untuk perbaikan. Perubahan yang mendasar atas paradigma baru atau kerangka berpikir baru yang dijiwai oleh suatu pandangan keterbukaan dan transparansi merupakan tuntutan dalam era reformasi. Perkembangan Masyarakat Indonesia Pada Masa Reformasi Reformasi menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional dalam berbagai bidang kehidupan. Ketika terjadi krisis ekonomi, politik, hukum dan krisis kepercayan, maka seluruh rakyat mendukung adanya reformasi dan menghendaki adanya pergantian pemimpin yang diharapkan dapat membawa perubahan Indonesia di segala bidang ke arah yang lebih baik. Perkembangan Politik Pasca Pemilu 1997 Di tengah-tengah perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara terjadilah ganjalan dalam kehidupan berpolitik menjelang Pemilu 1997 disebabkan adanya peristiwa 27 Juli 1996, yaitu adanya kerusuhan dan perusakan gedung DPP PDI yang membawa korban jiwa dan harta. Tekanan pemerintah Orba terhadap oposisi sangat besar dengan adanya tiga kekuatan politik yakni PPP, GOLKAR, PDI, dan dilarang mendirikan partai politik lain. Hal ini berkaitan dengan diberlakukan paket UU Politik, yaitu UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilu, UU No. 2 Tahun 1985 tentang susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR, DPRD yang kemudian disempurnakan menjadi UU No 5 Tahun 1995, UU No. 3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pertikaian sosial dan kekerasan politik terus berlangsung dalam masyarakat sepanjang tahun 1996, kerusuhan meletus di Situbondo, Jawa Timur Oktober 1996. Kerusuhan serupa terjadi di Tasikmalaya, Jawa Barat Desember 1996, kemudian di berbagai daerah di Indonesia. Pemilu 1997, dengan hasil Golkar sebagai pemenang mutlak. Hal ini ber-arti dukungan mutlak kepada Soeharto makin besar untuk menjadi presiden lagi di Indonesia dalam sidang MPR 1998. Pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden tidak dapat dipisahkan dengan komposisi anggota DPR/MPR yang mengandung nepotisme yang tinggi bahkan hampir semua putra-putrinya tampil dalam lembaga negara ini. Terpilihnya kembali Soeharto menjadi Presiden RI dan kemudian membentuk Kabinet Pembangunan VII yang penuh dengan ciri nepotisme dan kolusi. Mahasiswa dan golongan intelektual mengadakan protes terhadap pelaksanaan pemerintahan ini. Di samping hal tersebut di atas sejak 1997 Indonesia terkena imbas krisis moneter di Asia Tenggara. Sistem ekonomi Indonesia yang lemah tidak mampu mengatasi krisis, bahkan kurs rupiah pada 1 Agustus 1997 dari menjadi per dolar Amerika. Ketika nilai tukar makin memburuk, krisis lain menyusul yakni pada akhir tahun 1997 pemerintah melikuidasi 16 bank. Kemudian disusul membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN yang bertugas mengawasi 40 bank bermasalah. Kepercayaan dunia terhadap kepemimpinan Soeharto makin menurun. Pada April 1998, 7 bank dibekukan operasinya dan nilai rupiah terus melemah sampai perdolar. Hal ini menyebabkan terjadinya aksi mahasiswa di berbagai kota di seluruh Indonesia. Keadaan makin kacau ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan. Tanggal 4 Mei 1998 aksi anti Soeharto makin meluas, bahkan pada tanggal 12 Mei 1998 aksi mahasiswa Trisakti berubah menjadi bentrokan fisik yang membawa 4 kurban meninggal yakni Elang Mulia, Hari Hartanto, Hendriawan, dan Hafiadin Royan. B. Perkembangan Politik Setelah 21 Mei 1998 1. Sebab-Sebab terjadi Reformasi Sejak 13 Mei 1998 rakyat meminta agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Tanggal 14 Mei 1998 terjadi kerusu-han di Jakarta dan di Surakarta. Tanggal 15 Mei 1998 Presiden Soeharto pulang dari mengikuti KTT G-15 di Kairo, Mesir. Demo mahasiswa 21 Mei 1998 Tanggal 18 Mei para mahasiswa men-duduki gedung MPR/DPR dan pada saat itu ketua DPR/MPR mengeluarkan per-nyataan agar Presiden Soeharto mengundur-kan diri. Hal ini jelas berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah yang merosot sampai per dollar. Dari realita di atas, akhirnya tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada Habibie, yang membuka peluang suk-sesi kepemimpinan nasional kepada Habibie. Tujuan reformasi adalah tercip-tanya kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial yang lebih baik dari masa sebelumnya. Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada Habibie a. Tujuan Reformasi Reformasi politik bertujuan tercapainya demokratisasi. Reformasi ekonomi bertujuan meningkatkan tercapainya masyarakat. Reformasi hukum bertujuan tercapainya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Reformasi sosial bertujuan terwujudkan integrasi bangsa Indonesia. b. Faktor Pendorong Terjadinya Reformasi 1 Faktor politik meliputi hal-hal berikut. Adanya KKN Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam kehidupan pemerintahan. Adanya rasa tidak percaya kepada pemerintah Orba yang penuh dengan nepotisme dan kronisme serta merajalelanya korupsi. Kekuasaan Orba di bawah Soeharto otoriter tertutup. Adanya keinginan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mahasiswa menginginkan perubahan. 2 Faktor ekonomi, meliputi hal-hal berikut. Adanya krisis mata uang rupiah. Naiknya harga barang-barang kebutuhan masyarakat. Sulitnya mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok. 3 Faktor sosial masyarakat adanya kerusuhan tanggal 13 dan 14 Mei 1998 yang melumpuhkan perekonomian rakyat. 4 Faktor hukum belum adanya keadilan dalam perlakuan hukum yang sama di antara warga negara. c. Suksesi Pergantian Pimpinan 1 Sukarno–Soeharto, ada beberapa hal, yaitu sebagai berikut. Problem pokok adanya komunis/ PKI nomor 4 sedunia. Peristiwa Lubang Buaya. Adanya dualisme ada pro dan anti pembubaran PKI. Sidang istimewa MPRS 1967 didahului turunnya Supersemar. 2 Soeharto–Habibie, ada beberapa hal, antara lain sebagai berikut. Problem pokok adanya krisis ekonomi meluas ke bidang politik. Adanya gerakan reformasi yang menghendaki perubahan radikal karena KKN dalam tubuh pemerintahan. Nepotisme berarti mengajak keluarga dalam kekuasaan. Kronisme adalah mengajak teman-teman dalam kekuasaan. Presiden Soeharto ditolak oleh rakyat ditandai dengan didudukinya gedung DPR/MPR oleh mahasiswa, sehingga Soeharto menyerahkan jabatan kepada Habibie. 3 Pengalaman suksesi di Indonesia Pergantian pimpinan disertai kekerasan dan keributan dan setelah turun dari jabatan, dihujat. Menginginkan pergantian pimpinan yang wajar, namun tidak ditemukan sebab tidak adanya pembatasan masa jabatan. Tidak adanya Chek and Balance yaitu tidak ada keseimbangan dalam negara yang disebabkan kecenderungan otoriter. Etika moralitas bahwa KKN bertentangan dengan moralitas. d. Substansi Agenda Reformasi Politik Subsitusi agenda reformasi politik sebagai berikut. 1 Reformasi di bidang ideologi negara dan konstitusi. 2 Pemberdayaan DPR, MPR, DPRD maksudnya agar lembaga perwakilan rakyat benar-benar melaksanakan fungsi perwakilannya sebagai aspek kedaulatan rakyat dengan langkah sebagai berikut. Anggota DPR harus benar-benar dipilih dalam pemilu yang jurdil. Perlu diadakan perubahan tata tertib DPR yang menghambat kinerja DPR. Memperdayakan MPR. Perlu pemisahan jabatan ketua MPR dengan DPR. 3 Reformasi lembaga kepresidenan dan kabinet meliputi hal-hal berikut. Menghapus kewenangan khusus presiden yang berbentuk keputusan presiden dan instruksi presiden. Membatasi penggunaan hak prerogatif. Menyusun kode etik kepresidenan. 4 Pembaharuan kehidupan politik yaitu memperdayakan partai politik untuk menegakkan kedaulatan rakyat, maka harus dikembangkan sistem multipartai yang demokratis tanpa intervensi pemerintah. 5 Penyelenggaraan pemilu. 6 Birokrasi sipil mengarah pada terciptanya institusi birokrasi yang netral dan profesional yang tidak memihak. 7 Militer dan dwifungsi ABRI mengarah kepada mengurangi peran sosial politik secara bertahap sampai akhirnya hilang sama sekali, sehingga ABRI berkonsentrasi pada fungsi Hankam. 8 Sistem pemerintah daerah dengan sasaran memperdayakan otonomi daerah dengan asas desentralisasi. e. Agenda Reformasi Bidang Ekonomi Penyehatan ekonomi dan kesejahteraan pada bidang perbankan, perdagangan, dan koperasi serta pinjaman luar negeri untuk perbaikan ekonomi. Penghapusan monopoli dan oligopoli. Mencari solusi yang konstruktif dalam mengatasi utang luar negeri. f. Agenda Reformasi Bidang Hukum Terciptanya keadilan atas dasar HAM. Dibentuk peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan tuntutan reformasi. Misal Bidang ekonomi dikeluarkan UU kepailitan, dihapuskan UU subversi, sesuai semangat HAM dilepaskan napol-tapol amnesti-abolisi. g. Agenda Reformasi bidang hukum Agenda reformasi bidang hukum difokuskan pada integrasi nasional. h. Agenda reformasi bidang pendidikan Agenda reformasi bidang pendidikan ditujukan terutama masalah kurikulum yang harus ditinjau paling sedikit lima tahunan. i. Hambatan pelaksanaan reformasi politik Hambatan kultural mengingat pergantian kepemimpinan nasional dari Soeharto ke Habibie tidak diiringi pergantian rezim yang berarti sebagian besar anggota kabinet, gubernur, birokrasi sipil, komposisi anggota DPR/MPR masih peninggalan rezim Orba. Hambatan legitimasi pemerintah Habibie karena belum merupakan hasil pemilu. Hambatan struktural berkaitan dengan krisis ekonomi yang berlarut-larut yang berdampak bertambah banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Munculnya berbagai tuntutan otonomi daerah, yang jika tidak ditangani secara baik akan menimbulkan disintegrasi bangsa. Adanya kesan kurang kuat dalam menegakkan hukum terhadap praktik penyimpangan politik-ekonomi rezim lama seperti praktik KKN. Terkotak-kotaknya elite politik, maka dibutuhkan kesadaran untuk bersama-sama menciptakan kondisi politik yang mantap agar transformasi politik berjalan lancar. 2. Jatuh Bangunnya Pemerintahan RI Setelah 21 Mei 1998 Pemilihan umum dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Dari seratus lebih partai politik yang terdaftar, hanya 48 partai politik yang dinyatakan memenuhi persyaratan untuk mengikuti pemilihan umum. Lima besar hasil Pemilu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDI Perjuangan, Partai Golongan Karya Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa PKB, Partai Persatuan Pembangunan PPP, dan Partai Amanat Nasional PAN dan sekaligus merupakan lima penyusunan keanggotaan MPR yang menempatkan Amin Rais sebagai Ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR RI. Sidang Umum MPR pada tanggal 19 Oktober 1999 menolak laporan pertanggungjawaban Presiden Habibie yang disampaikan pada tanggal 16 Oktober 1999. Faktor penting yang menyebabkan ditolaknya laporan pertanggungjawaban Presiden Habibie adalah patut diduga bahwa presiden menguraikan indikator pertumbuhan ekonomi yang tidak akurat dan manipulatif. Presiden Habibie menyampaikan laporan pertanggungjawaban dalam Sidang Umum MPR Sidang Umum MPR juga berhasil mengambil keputusan memilih dan menetapkan Abdurrahman Wahid Gus Dur sebagai Presiden RI masa bakti 1999–2004. Presiden Abdurrahman Wahid dalam menjalankan pemerintahan didampingi Wapres Megawati Sukarnoputri. Sidang Umum MPR setelah berhasil menetapkan Presiden dan Wakil Presiden RI juga berhasil membuat sembilan ketetapan dan untuk kali pertama melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Presiden Abdurrahman Wahid menjalankan pemerintahan dengan membentuk kabinet yang disebut Kabinet Persatuan Nasional. Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berjasa dalam membuka kran kebebasan berpendapat dalam rangka demokrasi di Indonesia. Rakyat diberi kebebasan seluas-luasnya untuk berpendapat hingga akhirnya terjadi kebingungan dan kebimbangan mengenai benar dan tidaknya suatu hal. Pemerintah sendiri juga tidak pernah tegas dalam memberikan pernyataan terhadap suatu masalah. Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid secara umum belum mampu melepaskan bangsa Indonesia keluar dari krisis yang dialaminya. Fakta yang ada justru menunjukkan makin banyak terjadi pengangguran, naiknya harga-harga, dan bertambahnya jumlah penduduk yang berada di garis kemiskinan. Disintegrasi bangsa juga makin meluas meskipun telah diusahakan penyelesaian, misalnya pergantian nama Irian Jaya menjadi Papua. Pertentangan DPR dengan lembaga kepresidenan juga makin transparan. Banyak sekali teguran DPR yang tidak pernah diindahkan Presiden Abdurrahman Wahid. Puncak pertentangan itu muncul dalam masalah yang dikenal sebagai Bruneigate dan Buloggate. Kasus Buloggate menyebabkan lembaga DPR mengeluarkan teguran keras kepada presiden dalam bentuk memorandum I sampai II. Intinya agar presiden kembali bekerja sesuai GBHN yang telah diamanatkan. Presiden Abdurrahman Wahid tidak mengindahkan peringatan DPR tersebut. DPR akhirnya bertindak meminta MPR menggelar sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban kinerja presiden. Presiden berusaha menyelesaikan masalah laporan pertanggungjawaban dengan kompromi politik. Namun, upaya itu tidak mendapat sambutan positif lima dari enam partai politik pemenang Pemilu 1999, yaitu PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PAN, dan Partai Bulan Bintang. Partai Kebangkitan Bangsa sebagai basis politik Abdurrahman Wahid jelas mendukung langkah-langkahnya. Sikap MPR untuk menggelar sidang istimewa makin tegas setelah presiden secara sepihak melantik pemangku sementara jabatan Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Pol Chaerudin Ismail menggantikan Kapolri Jenderal Suroyo Bimantoro yang telah dinonaktifkan karena berseberangan pendapat dengan presiden. Padahal sesuai aturan yang berlaku pengangkatan jabatan setingkat Kapolri meskipun itu hak prerogatif presiden harus tetap berkoordinasi dengan DPR. Presiden sendiri dalam menanggapi rencana sidang istimewa berusaha mencari kompromi politik yang sama-sama menguntungkan. Namun, jika sampai tanggal 31 Juli 1998 kompromi ini tidak didapatkan, presiden akan menyatakan negara dalam keadaan bahaya. MPR berencana menggelar sidang istimewa mulai tanggal 21 Juli 2001. Presiden direncanakan akan memberikan laporan pertanggungjawabannya pada tanggal 23 Juli 2003. Namun, presiden menolak rencana tersebut dan menyatakan Sidang Istimewa MPR tidak sah dan ilegal. Di lain pihak, beberapa pimpinan partai politik lima besar pemenang pemilu minus PKB mulai mendekati dan mendorong Wapres Megawati Sukarnoputri untuk maju menjadi presiden. Melihat perkembangan politik yang tidak menguntungkan tersebut, Presiden Abdurrahman Wahid menengarai adanya persekongkolan untuk menjatuhkan dirinya sebagai presiden. Oleh karena itu, presiden segera bertindak meskipun tidak mendapat dukungan penuh dari kabinetnya untuk mengeluarkan Dekret Presiden pada tanggal 23 Juli 2001 pukul WIB dini hari. Dekret Presiden 23 Juli 2001 pada intinya berisi hal sebagai berikut membekukan MPR dan DPR RI; mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan-badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun; menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur orde baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung. Bangsa Indonesia menanggapi Dekret Presiden itu dengan penuh kebimbangan. MPR pada tanggal 23 Juli 2001 pukul WIB, akhirnya bersikap bahwa dekret tidak sah dan presiden jelas-jelas telah melanggar haluan negara yang diembannya. Pernyataan MPR didukung oleh fatwa Mahkamah Agung yang langsung dibacakan pada Sidang Istimewa MPR itu. Sidang Istimewa MPR terus berjalan meskipun PKB dan PDKB menyatakan walk out dan tidak bertanggung jawab atas hasil apapun dari Sidang Istimewa MPR. Fraksi-fraksi MPR yang ada akhirnya setuju memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI dan menetapkan Megawati Sukarnoputri sebagai Presiden RI. Keputusan menetapkan Megawati Sukarnoputri sebagai presiden dituangkan dalam Tap. MPR No. III/MPR/2001. Masa jabatan terhitung sejak dilantik sampai tahun 2004 atau melanjutkan sisa masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Hamzah Haz terpilih Wakil Presiden RI. Presiden Megawati Sukarnoputri menjalankan pemerintahan dengan membentuk kabinet yang diberi nama Kabinet Gotong Royong. Komposisi kabinet ini ditetapkan pada tanggal 9 Agustus 2001. Persoalan berat yang dihadapi bangsa Indonesia telah menghadang Presiden Megawati dan kabinetnya untuk diselesaikan secepatnya. Zaman reformasi sebayak 48 partai politik, yaitu 1. PIB Partai Indonesia Baru 2. KRISNA Partai Kristen Indonesia 3. PNI Partai Nasonal Indonesia 4. PADI Partai Aliansi Demokrat Indonesia 5. KAMI Partai Kebangitan Muslim Indonesia 6. PUI Partai Umat Islam 7. PKU Partai Kebangkitan Umat 8. Masyumi Baru 9. PPP Partai Persatuan Indonesia 10. PSII Partai Syariat Islam Indonesia 11. PDI Perjuangan 12. PAY Partai Abu Yatama 13. PKM Partai Kebangsaan Merdeka 14. PDKB Partai Demokrasi Kasih Bangsa 15. PAN Partai Amanat Nasional 16. PRD Partai Rakyat Demokrasi 17. PSII Partai Syarikat Islam Indonesia 1905 18. PKRD Partai Keadilan Rakyat Demokrasi 19. PILAR Partai Pilihan Rakyat 20. PARI Partai Rakyat Indonesia 21. MASYUMI 22. PBB Partai Bulan Bintang 23. PSP Partai Solidaritas Pekerja 24. PK Partai Keadilan 25. PNU Partai Nahdatul Umat 26. PNI Front Marhenis 27. IPKI Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia 28. Partai Republik 29. PID Partai Islam Demokrat 30. PNI Massa Marhenis 31. MURBA Partai Musyawarah Rakyat 32. PDI Partai Demokrasi Indonesia 33. Golkar Golongan Karya 34. PP Partai Persatuan 35. PKB Partai Kebangkitan Bangsa 36. PUDI Partai Uni Demokrasi Indonesia 37. PBN Partai Buruh Nasional 38. MKGR Partai Musyawarah Gotong Royong 39. PDR Partai Daulat Rakyat 40. Partai Cinta Damai 41. PKP Partai Keadilan dan Persatuan 42. PSPSI Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia 43. PNBI Partai Nasional Bangsa Indonesia 44. PBI Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia 45. SUNI Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia 46. PND Partai Nasional Demokrat 47. PUMI Partai Umat Muslimin Indonesia 48. PPI Partai Pekerja Indonesia 3. Kondisi Sosial dan Politik Bangsa Indonesia Setelah 21 Mei 1998 Perubahan politik di Indonesia sejak bulan Mei 1998 merupakan babak baru bagi penyelesaian masalah Timor Timur. Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Habibie telah mena-warkan pilihan, yaitu pemberian otonomi khusus kepada Timor Timur di dalam Negara Kesatuan RI atau memisahkan diri dari Indone-sia. Melalui perundingan yang disponsori oleh PBB, di New York, Amerika Serikat pada tanggal 5 Mei 1999 ditandatangani kesepakatan tripartit antara Indonesia, Portugal, dan PBB untuk melakukan jajak pendapat mengenai status masa depan Timor Timur. Jajak pendapat di Timor Timur PBB kemudian membentuk misi PBB di Timor Timur atau United Nations Assistance Mission in East Timor UNAMET. Misi ini bertugas melakukan jajak pendapat. Jajak pendapat diselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999. Jajak pendapat diikuti oleh penduduk Timor Timur berdasarkan kriteria UNAMET. Jajak pendapat diumumkan oleh PBB di New York dan Dili pada tanggal 4 September 1999. Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa 78,5% penduduk Timor Timur menolak menerima otonomi khusus dalam NKRI dan 21,5% menerima usul otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah RI. Ini berarti Timor Timur harus lepas dari Indonesia. Ketetapan MPR No. V/MPR/ 1999 tentang Penentuan Pendapat Rakyat di Timor Timur menyatakan mencabut berlakunya Tap. MPR No. V/MPR/1978. Selain itu, mengakui hasil jajak pendapat tanggal 30 Agustus 1999 yang menolak otonomi khusus. Pengalaman lepasnya Timor Timur dari Indonesia menjadikan pemerintah lebih waspada terhadap masalah Aceh dan Papua. Sikap politik pemerintah di era reformasi terhadap penyelesaian masalah Aceh dan Papua dilakukan dengan memberi otonomi khusus pada dua daerah tersebut. Untuk lebih memberi perhatian dan semangat pada penduduk Irian Jaya, di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid nama Irian Jaya diganti menjadi Papua. Pemerintah pusat juga memberi otonomi khusus pada wilayah Papua. Dengan demikian, pemerintah telah berusaha merespon sebagian keinginan warga Papua untuk dapat lebih memaksimalkan segala potensinya untuk kesejahteraan rakyat Papua sendiri. Meskipun begitu, masih saja terjadi usaha untuk memisahkan diri dari NKRI, terutama yang dipimpin oleh Theys H. Eluoy, Ketua Presidium Dewan Papua. Gerakan Papua Merdeka sempat mereda setelah Theys H. Eluoy tewas tertembak pada tanggal 11 November 2001 yang diduga dilakukan oleh beberapa oknum TNI dari Satgas Tribuana X. Penyelesaian konflik seperti itu sebenarnya tidak dikehendaki pemerintah, namun ada saja oknum yang memancing di air keruh sehingga menimbulkan ketegangan. Keinginan sebagian rakyat untuk merdeka telah menyebabkan pemerintah bertindak keras. Apalagi setelah pengalaman Timor Timur dan pemberian otonomi khusus pada rakyat tidak memberikan hasil maksimal. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, Aceh telah mendapat otonomi khusus dengan nama Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, keinginan baik pemerintah kurang mendapat sambutan sebagian rakyat Aceh. Kelompok Gerakan Aceh Merdeka GAM tetap pada tuntutannya, yaitu ingin Aceh merdeka. Akibatnya, di Aceh sering terjadi gangguan keamanan, seperti penghadangan dan perampokan truk-truk pembawa kebutuhan rakyat, serta terjadinya penculikan dan pembunuhan pada tokoh-tokoh yang memihak Indonesia. Agar keadaan tidak makin parah, pemerintah pusat dengan persetujuan DPR, akhirnya melaksanakan operasi militer di Aceh. Hukum darurat militer diberlakukan di Aceh. Para pendukung Gerakan Aceh Merdeka ditangkap. Namun demikian, operasi militer juga tetap saja menyengsarakan warga sipil sehingga diharapkan dapat segera selesai. Gejolak politik di era reformasi juga ditandai dengan banyaknya teror bom di Indonesia. Teror bom terbesar terjadi di sebuah tempat hiburan di Legian, Kuta, Bali yang menewaskan ratusan orang asing. Pada tanggal 12 Oktober 2002 bom berikutnya sempat memporak-porandakan Hotel Marriot di Jakarta beberapa waktu lalu. Keadaan yang tidak aman dan banyaknya teror bom memperburuk citra Indonesia di mata internasional sehingga banyak investor yang batal menanamkan modal di Indonesia. Kondisi politik Indonesia yang kurang menguntungkan tersebut diperparah dengan tidak ditegakkannya hukum dan hak asasi manusia HAM sebagaimana mestinya. Berbagai kasus pelanggaran hukum dan HAM terutama yang menyangkut tokoh-tokoh politik, konglomerat, dan oknum TNI tidak pernah terselesaikan secara adil dan jujur. Oleh karena itu, rakyat makin tidak percaya pada penguasa meskipun dua kali telah terjadi pergantian pimpinan negara sejak Soeharto tidak menjadi Presiden RI. C. Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Berbagai Daerah Sejak Reformasi Tuntutan reformasi menghendaki adanya perubahan dan perbaikan di segala aspek kehidupan yang lebih baik. Namun, pada praktiknya tuntutan reformasi telah disalahgunakan oleh para petualang politik hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pada era reformasi, konflik yang terjadi di masyarakat makin mudah terjadi dan sering kali bersifat etnis di berbagai daerah. Kondisi sosial masyarakat yang kacau akibat lemahnya hukum dan perekonomian yang tidak segera kunjung membaik menyebabkan sering terjadi gesekan-gesekan dalam masyarakat. Beberapa konflik sosial yang terjadi pada era reformasi berlangsung di beberapa wilayah, antara lain sebagai berikut. 1. Kalimantan Barat Konflik sosial yang terjadi di Kalimantan Barat melibatkan etnik Melayu, Dayak, dan Madura. Kejadian bermula dari tertangkapnya seorang pencuri di Desa Parisetia, Kecamatan Jawai, Sambas, Kalimantan Barat yang kemudian dihakimi hingga tewas pada tanggal 19 Januari 1999. Kebetulan pencuri tersebut beretnis Madura, sedangkan penduduk Parisetia beretnis Dayak dan Melayu. Kerusuhan Sampit Entah isu apa yang beredar di masyarakat menyebabkan penduduk Desa Sarimakmur yang kebanyakan dihuni etnis Madura melakukan aksi balas dendam dengan menyerang dan merusak segala sesuatu di Desa Parisetia. Akibatnya, terjadi aksi saling balas dendam antaretnis tersebut dan menjalar ke berbagai daerah di Kalimantan Barat. Pemerintah berusaha men-damaikan konflik tersebut dengan mengajak tokoh masyarakat dari masing-masing etnis yang ada untuk membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat. Dengan wadah tersebut segala permasalahan dicoba diselesaikan secara damai. 2. Kalimantan Tengah Konflik sosial di Kalimantan Barat ternyata terjadi juga di Kalimantan Tengah. Pada tanggal 18 Februari 2001 pecah konflik antara etnis Madura dan Dayak. Konflik itu diawali dengan terjadinya pertikaian perorangan antaretnis di Kalimantan Tengah. Ribuan rumah dan ratusan nyawa melayang sia-sia akibat pertikaian antaretnis tersebut. Sebagian pengungsi dari etnis Madura yang diangkut dari Sampit untuk kembali ke kampung halamannya di Madura ternyata juga menimbulkan masalah di kemudian hari. Kondisi Pulau Madura yang kurang menguntungkan menyebabkan sebagian warganya menolak kedatangan para pengungsi itu. Sampai sekarang pun pengungsi Sampit masih menjadi masalah pemerintah. 3. Sulawesi Tengah Kerusuhan Poso Konflik sosial di Sulawesi Tengah tepatnya di daerah Poso berkembang menjadi konflik antaragama. Kejadian bermula dipicu oleh perkelahian antara Roy Luntu Bisalembah Kristen yang kebetulan sedang mabuk dengan Ahmad Ridwan Islam di dekat Masjid Darussalam pada tanggal 26 Desember 1998. Entah isu apa yang berkembang di masyarakat perkela-hian dua orang berbeda agama itu berkembang menjadi ketegangan antaragama di Poso, Sulawesi Tengah. Konflik tersebut juga menyebabkan ratusan rumah dan tempat ibadah hancur. Puluhan, bahkan ratusan nyawa melayang akibat konflik tersebut. Konflik sempat mereda, tetapi masuknya beberapa orang asing ke daerah konflik tersebut menyebabkan ketegangan dan kerusuhan terjadi lagi. Beberapa dialog digelar untuk meredakan konflik tersebut, seperti pertemuan Malino yang dilakukan pada tanggal 19–20 Desember 2001. 4. Maluku Konflik sosial yang dipicu oleh konflik agama juga terjadi di Maluku. Kejadian diawali dengan bentrokan antara warga Batumerah, Ambon, dan sopir angkutan kota pada tanggal 19 Januari 1999. Namun, seperti konflik yang terjadi di wilayah Indonesia lainnya, tanpa tahu isu apa yang beredar di masyarakat, terjadi ketegangan antarwarga. Puncaknya terjadi kerusuhan massa dengan disertai pembakaran Masjid Al-Falah. Warga Islam yang tidak terima segera membalas dengan pembakaran dan perusakan gereja. Konflik meluas menjadi antaragama. Namun, anehnya konflik yang semula antaragama berkembang menjadi gerakan separatis. Sebagian warga Maluku pada tanggal 25 April 2002 membentuk Front Kedaulatan Maluku dan mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan RMS di beberapa tempat. Upaya menurunkan bendera tersebut menimbulkan korban. Mereka gigih mempertahankannya. Sampai sekarang konflik Maluku itu belum dapat diatasi dengan tuntas. Dari beberapa kejadian itu terlihat betapa di era reformasi terjadi pergeseran pelaku kekerasan. Di era orde baru, kekerasan lebih banyak dilakukan oleh oknum ABRI daripada warga sipil. Namun, pada era reformasi kekerasan justru di-perlihatkan oleh sesama warga sipil. Masyarakat makin beringas dan hukum seperti tidak ada. Banyak kejadian kriminal yang pelakunya tertangkap basah langsung dihakimi bahkan sampai meninggal oleh masyarakat. Kinerja para penegak hukum sepertinya sudah tidak dapat dipercaya lagi. Masyarakat sudah muak melihat berbagai kasus besar yang melibatkan pejabat negara dan oknum militer tidak tertangani sampai tuntas meskipun mereka dinyatakan bersalah. Sedangkan mengenai masalah ekonomi, selama masa tiga bulan kekuasaan pemerintah Habibie, ekonomi Indonesia belum mengalami perubahan yang berarti. Enam dari tujuh bank yang telah dibekukan dan dilikuidasi pemerintah pada bulan Agustus 1998. Nilai rupiah terhadap mata uang asing masih tetap lemah di atas per dolar Amerika Serikat. Persediaan sembilan bahan pokok di pasaran juga makin berkurang dan harganya meningkat cepat. Misalnya, pada bulan Mei 1998, harga satu kilogram beras rata-rata namun harga tersebut sempat naik menjadi di atas per kilogram pada bulan Agustus 1998. Antrian panjang masyarakat membeli beras dan minyak goreng mulai terlihat di berbagai tempat. Oleh karena keadaan ekonomi yang parah menyebabkan rakyat Indonesia melakukan segala tindakan untuk sekadar dapat mencukupi kebutuhan. Antrian pembeli sembako masa reformasi Penjarahan adalah pemandangan biasa yang dijumpai pada awal-awal pemerintahan Presiden Habibie. Penjarahan mereka lakukan terhadap tempat-tempat yang dapat membantu kelangsungan hidup. Kayu-kayu di hutan lindung mereka tebangi, tambak udang dan ikan bandeng yang siap panen mereka sikat, lahan-lahan tidur milik orang kaya terutama mantan para penguasa orde baru mereka tempati. Mereka dengan mengatasnamakan rakyat kecil atau wong cilik melakukan tindakan itu semua. Pemerintah yang tidak berwibawa tidak mampu mengatasi semua itu. Aparat penegak hukum pun tidak berkutik dibuatnya. Pemerintah Indonesia pun sebenarnya berusaha memulihkan keadaan ekonomi nasional dengan menjalin kerja sama dengan Bank Dunia World Bank dan Dana Moneter Internasional IMF. Namun, kebijaksanaan ekonomi pemerintah Indonesia atas saran dua lembaga keuangan dunia malah memperburuk situasi ekonomi nasional. Dua lembaga keuangan dunia itu menyarankan agar subsidi pemerintah untuk listrik, BBM, dan telepon dicabut. Akibatnya, terjadi kenaikan biaya pada ketiga sektor tersebut sehingga rakyat makin terjepit. Atas desakan rakyat Indonesia, akhirnya pemerintah memutuskan hubungan dengan dua lembaga keuangan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri. Para pemilik bank bankir di Indonesia juga ikut memperburuk keadaan dengan membawa lari dana penyehatan bank dana BLBI yang mereka terima. Maksud pemerintah sebenarnya baik, yaitu ikut membantu menyehatkan bank akibat krisis keuangan yang menimpa. Akan tetapi, mental mereka memang sudah rusak sehingga dana itu malah dipakai untuk hal lain sehingga mereka tidak bisa mengembalikan. Sungguhpun begitu, pemerintah tetap berusaha memulihkan keadaan ekonomi Indonesia. Segala cara dilakukan agar rakyat segera terlepas dari krisis ini. Partisipasi dari setiap warga negara sangat diharapkan untuk dapat segera memulihkan keadaan mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai Pembukaan UUD 1945. Itulah penjelasan Perkembangan Masyarakat Indonesia Pada Masa Reformasi pada kali ini. Semoga bermanfaat dan jangan lupa, baca juga artikel lainnya mengenai Revolusi Menegakkan Panji-Panji NKRI. Sekian dan terima kasih atas kunjugannya selama ini, untuk meramaikan blog tercinta kami.
SekolahMenengah Pertama. terjawab. Reformasi secara total sangat didambakan oleh seluruh bangsa Indonesia agar . A. Indonesia menjadi terkenal di dunia internasional B. Para negara investor negara menanamkan modalnya C. Kemakmuran rakyat yang merata dan terwujud D. Permusuhan antar suku,antar golongan dan antar agama terhenti.

Seiring terbentuknya berbagai institusi dan aturan-aturan baru lewat reformasi hukum pasca 1998, Indonesia pernah disebut sebagai negara demokrasi yang sehat. Tapi belakangan, reformasi hukum semakin tidak berjalan dan watak asli demokrasi Indonesia muncul ke permukaan demokrasi tidak sesehat dugaan. Banyak lembaga-lembaga hukum dan aturan-aturan kini jauh panggang dari api. Komisi Pemberantasan Korupsi KPK - salah satu capaian reformasi paling penting - telah semakin menjauh dari tujuan. Aturan seperti Undang-Undang UU Cipta Kerja dibuat tanpa partisipasi publik dan cenderung melayani kepentingan segelintir elite. Mengingat berbagai bantuan pembangunan untuk reformasi hukum dari lembaga-lembaga donor telah digelontorkan ke Indonesia, terutama pada era Reformasi, kebuntuan ini menjadi pertanyaan. Berbagai studi menjelaskan musababnya pada lemahnya desain kelembagaan, atau dibajaknya institusi-institusi hukum untuk kepentingan politik sempit, atau karena aparat yang kurang kompeten. Masalah kelembagaan dan aparaturnya juga kerap dihubungkan dengan rentang usia pembaharuan hukum yang masih pendek, dibandingkan dengan pengalaman negara-negara maju. Studi lainnya menekankan pada keragaman hukum yang tumbuh dalam masyarakat pluralisme hukum, sehingga upaya transplantasi’ satu hukum yang liberal dan rasional tak selalu bisa diterima. Riset kami pada 2019-2021 menunjukkan bahwa keterbatasan reformasi hukum tak semata soal institusi, rentang waktu yang pendek atau pluralisme hukum. Kemampatan ini lebih berkaitan dengan watak tata politik-hukum yang tak sejalan dengan prinsip-prinsip liberal - yang kami sebut sebagai legalisme iliberal. Dengan watak semacam ini, hukum cenderung bekerja untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan upaya perlindungan hak warga negara dan tak dapat menjamin perwujudan keadilan. Dalam upaya menumpuk kekayaan dan kekuasaan, kekuatan-kekuatan ekonomi-politik yang ada tidak berkepentingan membentuk sistem hukum yang rasional. Selama ini masih terjadi, upaya mewujudkan hukum yang rasional itu — yang sejalan dengan rule of law sebagai konsep pembatasan kekuasaan negara dan perlindungan hak warga — akan terus terhenti. Read more Riset reformasi pengelolaan keuangan daerah tidak lantas menurunkan korupsi Kapitalisme dan kekacauan Bentuk pengorganisasian kekuatan-kekuatan ekonomi-politik adalah perwujudan dari perkembangan kapitalisme dan evolusi negara yang spesifik. Secara sederhana, kapitalisme adalah sistem ekonomi dan politik yang bertumpu pada penguasaan alat produksi oleh privat untuk akumulasi profit. Pemikir klasik Max Weber menjelaskan bahwa perkembangan tata ekonomi ini sangat dipengaruhi oleh suatu kerangka hukum tertentu. Menurut Weber, hukum yang rasional — yakni yang bisa memberikan prediktabilitas dan kepastian — dapat menjamin terciptanya lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi. Dalam sejarahnya, hukum yang rasional merupakan respons atas kekuasaan yang absolut dari kelas aristokrat. Hukum yang rasional pada mulanya bertujuan agar kepentingan kelas kapitalis borjuis yang baru tumbuh bisa terlindungi dari campur tangan penguasa politik dan terutama dari pungutan pajak yang mencekik. Dalam perkembangannya, hukum juga menjadi instrumen untuk mewujudkan keadilan bagi kelas pekerja dan secara lebih luas juga warga negara. Dari pengalaman masyarakat Eropa Barat, dapat kita lihat bahwa hukum yang rasional bukan semata pemberian negara atau hasil transplantasi lembaga donor, melainkan produk dari konflik sosial. Sementara itu, kapitalisme yang diperkenalkan melalui kolonialisme di Indonesia menciptakan struktur kekuasaan ekonomi dan politik yang amat berbeda dari pengalaman bangsa-bangsa Eropa. Di Indonesia, tidak ada kelas aristokrat yang dominan secara politik maupun kelas borjuis yang kuat secara ekonomi. Akibatnya, negara yang ditopang birokrat warisan kolonial tidak hanya memegang kendali atas kekuasaan politik, tetapi juga menggantikan fungsi kelas kapitalis. Badan-badan usaha milik negara hasil nasionalisasi perusahaan Belanda, misalnya, menjalankan peran sentral dalam proses perkembangan kapitalisme pada awal berdirinya Indonesia. Saat kemudian kelas kapitalis telah tumbuh berkat bantuan negara, mereka amat bergantung pada akses atas kontrak dan perlindungan politik dari penguasa. Keadaan ini menciptakan fusi kekuatan ekonomi dan politik. Di sini, pelaku ekonomi dominan cenderung tidak memerlukan hukum yang rasional untuk membatasi campur tangan politik maupun untuk membangun otonomi relatif dari negara. Alhasil, ekonomi didominasi oleh sektor-sektor yang membuka ruang besar bagi perburuan rente dengan memanfaatkan alokasi sumber daya dari negara, yang sekaligus meminggirkan liberalisme pasar. Maka, ada dua poin pokok yang patut kita pertegas. Pertama, keberadaan rule of law tidak selalu memiliki korelasi positif yang kuat dengan pertumbuhan ekonomi. Kedua, ketiadaan hukum yang rasional, tumpang-tindih aturan, dan segala bentuk kekacauan disorder - termasuk maraknya korupsi dan mobilisasi kekerasan - tidak selalu menjadi hambatan bagi kegiatan usaha. Dalam banyak kasus, seperti di Indonesia, kekacauan ini ironisnya justru menjadi alat yang menunjang akumulasi kapital. Mahasiswa dan buruh berunjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di Banyumas, Jawa Tengah, pada Oktober 2020. Idhad Zakaria/Antara Foto Legalisme iliberal Bagaimana berbagai bentuk kekacauan yang menopang kerangka pengaturan yang iliberal dapat berguna dalam upaya-upaya konsentrasi kekayaan dan kekuasaan? Bukankah kekacauan justru melahirkan ketidakpastian bagi iklim usaha yang menghambat pertumbuhan ekonomi? Hasil survei dari World Economic Forum, misalnya, mengategorikan korupsi — yang merupakan salah satu bentuk kekacauan — sebagai penghambat utama investasi. Logikanya, jika korupsi berkurang, maka ekonomi akan berkembang. Pada kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya. Ketika Presiden Joko “Jokowi” Widodo gencar mendorong perbaikan iklim investasi untuk meningkatkan rangking indeks kemudahan berbisnis, ia bersama Dewan Perwakilan Rakyat justru berkontribusi dalam berbagai upaya pelemahan KPK. Moeldoko, Kepala Kantor Staf Kepresidenan, bahkan tegas menyatakan bahwa keberadaan KPK adalah penghambat investasi. Ia memang sempat mengoreksi pernyataan itu, namun pesan tentang logika kekuasaan yang sebenarnya, telah sampai kepada publik. Hasil wawancara kami dengan beberapa pengusaha nasional mengonfirmasi logika itu. Bagi mereka, keberadaan KPK yang kuat adalah pengganggu usaha. Saat menjabat sebagai ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Roeslan Roeslani, juga menegaskan bahwa UU KPK yang baru berdampak positif bagi iklim investasi. Pandangan-pandangan ini tentu bertentangan dengan asumsi liberal tentang penciptaan hukum yang rasional untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Kontradiksi ini tampak dari lemahnya gagasan ekonomi pasar bebas di Indonesia yang diharapkan dapat ditunjang oleh hukum yang rasional. Dominasi ekonomi rente menempatkan penegakan hukum pemberantasan korupsi sebagai gangguan. Jokowi juga mengemukakan anjuran-anjuran yang berusaha memfasilitasi ekonomi pasar saat hendak membentuk UU Cipta Kerja yang merevisi dan menggabungkan lebih dari 70 UU. Ia mengklaim UU omnibus ini dapat mengatasi masalah yang menghambat iklim investasi, terutama terkait pungutan liar dan tumpang tindih aturan. Nyatanya, aturan ini dibuat dengan mengabaikan transparansi dan tanpa partisipasi publik yang memadai. Ini bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik sebagai komponen penopang ekonomi liberal. Read more Kemunduran demokrasi dalam pemerintahan Jokowi nyalakan tanda bahaya Reformasi hukum di tengah logika kekacauan Selama aktor ekonomi-politik dominan tidak berkepentingan menegakkan hukum yang rasional, dan lebih bersandar pada berbagai bentuk kekacauan, maka tata politik-hukum akan tetap bertendensi iliberal. Kebuntuan reformasi hukum juga akibat dari dominasi pendekatan yang menekankan pada perubahan-perubahan institusional. Pendekatan ini memandang persoalan hukum disebabkan oleh aturan yang bermasalah, budaya hukum yang lemah, atau penegakannya yang berat sebelah. Banyak lembaga donor telah memberi perhatian pada aspek-aspek ini, di antaranya lewat pelatihan-pelatihan bagi aparat penegak hukum atau penyusun undang-undang. Cara pandang ini berisiko memisahkan pembentukan dan penegakan hukum dari dinamika kekuasaan, dan mengasumsikan hukum sebagai entitas yang otonom dan netral. Keberadaan institusi hukum dengan desain kelembagaan yang baik seperti KPK, misalnya, pernah dianggap sangat menjanjikan untuk reformasi hukum di Indonesia. Akan tetapi, desain kelembagaan yang baik serta dukungan moral dari publik tetap tidak berhasil menyelamatkan KPK dari pembajakan elite. Ini menunjukkan bahwa reformasi yang berfokus pada perubahan institusional dan “gerakan-gerakan moral” masih sulit membendung kekuatan ekonomi-politik yang iliberal. Perubahan-perubahan seperti itu tidak menyentuh logika kekuasaan yang bertumpu pada kekacauan sebagai alat akumulasi kekayaan. Logika kekuasaan ini adalah produk dari bagaimana kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik diorganisasikan. Maka penting untuk memahami bagaimana pengorganisasian kekuatan-kekuatan itu dalam menganalisis kebuntuan reformasi hukum di Indonesia.

Perandan tanggung jawab mahasiswa dalam melakukan kerja-kerja gerakan dalam sebuah perubahan tersebut menjadi suatu hal yang lumrah dalam garis sejarah sebuah bangsa. Apalagi dalam sejarah perubahan bangsa kita "Indonesia". Mahasiswa merupakan bagian dari struktur sosial yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat, maka tidak heran apabila Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Sejak memasuki era reformasi, konsep demokrasi semakin nyata didengungkan. Hal ini terlihat dari kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat dalam mengkritik pemerintah, era reformasi juga membawa dilema untuk bangsa ini. Salah satunya adalah karena kebebasan berpendapat kerap disalahgunakan sebagai penegasan terhadap identitas kelompok tertentu atas nama tersebut tentunya menjadi permasalahan tersendiri bagi bangsa ini dan secara potensial ini dapat mencederai hakikat Demokrasi Pancasila. Sebagai contohnya, banyak kita temukan konflik berbasis perbedaan agama dan budaya terjadi di masyarakat, maraknya ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas, serta bermunculannya ideologi intoleran dan kejahatan level pemerintahan dan politik, kondisi demokrasi di Indonesia, khususnya dari aspek supremasi hukum, juga cukup mengkhawatirkan. Salah satunya bisa kita soroti dari banyaknya tindakan pelanggaran HAM, minimnya pelibatan aspirasi publik terhadap Rancangan berbagai Undang-Undang seperti Revisi UU KPK, RKUHP, keberadaan UU ITE yang menyulitkan pejuang HAM, beberapa penerbitan Perpu yang tidak dilandaskan pada kajian yang objektif dan masih banyak lagi. Selama 23 tahun usia reformasi, demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran atau regresi. Kemunduran itu datangnya dari dua arah sekaligus yaitu di tingkat negara dan elite atas dan di level masyarakat bawah. Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid dalam diskusi daring Refleksi 23 Tahun Reformasi, Minggu 23/5/2021. Kemunduran demokrasi dari negara atas, dia menjelaskan, antara lain tercermin dari adanya konsistensi pola kebijakan yang mengurangi kebebasan sipil illiberal yang menjadi tren politik di tingkat kemunduran demokrasi dari tingkat bawah atau masyarakat kata dia, terjadi dengan menguatnya vigilantisme berbasis agama, dan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap minoritas agama dan orientasi saya sebagai bangsa demokratis, negara harus mengakomodasi aspirasi atau suara rakyat khususnya kaum minoritas karena dalam sistem demokrasi rakyat memegang kekuasaan penuh atas pemerintahan yang dijamin secara konstitusional. Oleh karena itu, sebagai upaya menjalankan demokrasi yang bebas, adil, dan jujur, penentuan pemimpin harus dilakukan melalui pemilihan umum yang melibatkan penuh asprirasi rakyat, atau kata kuncinya adalah kata lain, legitimasi merupakan salah satu tolok ukur apakah prinsip demokrasi dijalankan dengan sebaik-baiknya atau tidak karena legitimasi merupakan representasi dari suara rakyat yang seharusnya dijadikan referensi utama oleh negara dalam menentukan pemimpin. Musyawarah untuk mencapai mufakat yang merupakan prinsip utama demokrasi juga harus dilakukan secara bertanggung-jawab karena dengan cara inilah rakyat dapat menentukan harapan bersama dengan tetap menjaga harmoni dan stabilitas sosial-politik. Secara filosofis prinsip demokrasi adalah merangkul dan mengakomodasi suara rakyat baik mayoritas maupun minoritas demi terciptanya suatu masyarakat yang adil, makmur, dan melalui demokrasi, masyarakat dapat membangun kepercayaan diri untuk tegar menghadapi sebuah krisis, menjaga ketahanan nasional di tengah kesusahan, mengatasi perpecahan yang mendalam melalui dialog dan partisipasi inklusif, dan mempertahankan keyakinan bahwa pengorbanan akan ditanggung bersama dan hak semua warga negara demokrasi, masyarakat sipil yang mandiri, termasuk kaum perempuan dan kaum muda, dapat diberdayakan sebagai mitra bagi lembaga negara dalam memberikan pelayanan, untuk membantu agar masyarakat senantiasa mengetahui dan terlibat, dan untuk meningkatkan moral masyarakat dan semangat mencapai tujuan Rabu 26 Mei 2021Oleh Nur Rochmat Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya BandungHumas BKN, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Bima Haria Wibisana menyebutkan untuk menjadi legitimate government, pemerintah perlu berbenah dengan selalu mengevaluasi pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Menurutnya, untuk memahami core value perlu memosisikan diri menjadi pihak yang menerima pelayanan. Demikian pula dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). "Reformasi pelayanan Hanyasaja, setelah muncul gerakan renaisance di Eropa, pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang pernah diraih dunia Islam kemudian diambil alih oleh bangsa Barat hingga berlangsung sampai sekarang.14 Melihat fenomena di atas, justru yang urgen diangkat dalam diskursus pendidikan Islam kontemporer adalah, pentingnya segera dilakukan

Uraian, cacatan ataupun pesan ini saya kemukakan dengan harapan untuk memadukan upaya kita bersama, seluruh unsur yang mendukung gerakan reformasi total, guna keluar dari krisis ini, agar dalam waktu yang tidak terlalu lama dan korban yang tidak terlampau besar, mampu mengembalikan kehidupan ekonomi nasional tagi dengan sikap baru, hasil dari langkah-langkah pembaruan bangsa yang didambakan

Blogini merupakan sebuah sarana bagi siapa saja yang mempunyai hati, pemikiran, dan harapan terhadap Indonesia sebagai bangsa yang memiliki aneka warna budaya, agama dan juga kekayaan alamnya. Hati, pemikiran dan harapan bagi Indonesia itu telah menggerakkan semangat untuk selalu memberi warna 'baru' bagi Indonesia; warna yang semakin hari semakin cerah, cerdas, cerdik, murah hati, dan

qLyj.
  • bung83kimm.pages.dev/322
  • bung83kimm.pages.dev/325
  • bung83kimm.pages.dev/140
  • bung83kimm.pages.dev/298
  • bung83kimm.pages.dev/284
  • bung83kimm.pages.dev/103
  • bung83kimm.pages.dev/19
  • bung83kimm.pages.dev/381
  • bung83kimm.pages.dev/123
  • reformasi secara total sangat didambakan oleh bangsa indonesia agar